PENDIDIK
MENGAJAR DISAAT PESERTA DIDIK DALAM KONDISI SIAP MENERIMA MATERI
PEMBAHASAN
A.
Hadits
dan Terjemah
·
Peserta
didik dalam kondisi tenang
(أ)
عَنْ
جَرِيْرٍ بْنِ عَبْدِ الله أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لَهُ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ : (إِسْتَنْصِتِ النَّاسَ). فَقَالَ : لَا
تَرْجِعُوْا بَعْدِي كُفَّارًا، يَضْرِبُ بَعْضَكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ . أخرجه
البخرى فى صحيحه كتاب العلم باب الانصات للعلماء.
Artinya:
“Diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah
r.a. Nabi Saw. pernah bersabda kepada para sahabatnya pada saat Haji Wada’
(haji penghabisan/perpisahan) Nabi Saw. “Tolong suruh mereka memperhatikan (dan
mendengarkan) : “Kemudian Rasulullah Saw. bersabda ditujukan kepada mereka,
“Janganlah menjadi kafir setelah kepergianku dengan saling berbunuhan satu sama
lain.”[1]
(ب)
عَنْ
أُسَامَةَ بْنِ شَرِيك قَالَ: (أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَإِذَا أَصْحَابِهِ عِنْدَهُ كَأَنَّ عَلَى رُؤُوْسِهِمْ الطَّيْر).
Artinya:
“Diriwayatkan dari
Usamah bin Syarik berkata : “saya telah datang kepada Rasulullah saw. ketika
beliau dengan para sahabatnya, mereka tertunduk seperti ada burung diatas
kepala.”
عَنِ
ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَوَّلُنَا بِالْمَوْعِظَةِ فِى الْأَيَّامِ، كَرَاهَةَ
السَّامَّةِ عَلَيْنَا. أخرجه البخرى فى
صحيحه كتاب العلم باب ماكان النبي صلى الله عليه وسلم يتخولنا بالموعظة والعلم كي
لاينفروا.
Artinya:
“Diriwayatkan
dari Ibn Mas’ud : Nabi Muhammad Saw. memilih waktu yang tepat untuk berkhutbah
sehingga kami tidak merasa bosan. (Nabi tidak mengganggu kami dengan melibatkan
kami dalam pembicaraan agama dan ilmu pengetahuan terus menerus sepanjang waktu).”[2]
B. Penjelasan Hadits
·
Peserta
didik dalam kondisi tenang
a) Sebagian ulama mengatakan bahwa lafadz لَهُ dalam
kalimat قَالَ لَهُ فِي حَجَّةِ
الْوَدَاعِ
adalah kata tambahan, karena Jarir masuk Islam kurang lebih dua bulan setelah
haji wada’. Ibnu Abdul Barr mengatakan, bahwa Jarir masuk Islam sekitar 40 hari
sebelum Rasulullah meninggal dunia, dan apa yang dikatakan ini bertentangan dengan
pendapat Al Baghawi yang mengatakan, bahwa Jarir masuk Islam pada bulan
Ramadhan tahun kesepuluh. Apa yang dikatakan oleh penulis mengenai hadits ini
dalam bab “Haji Wada” bahwa Nabi telah mengatakan kepada Jarir, tidak
mengandung unsur takwil, bahkan telah menguatkan perkataan Al Baghawi.
Maksud يَضْرِبُ (memukul)
adalah
janganlah kalian melakukan perbuatan orang-orang kafir, sehingga kalian
menyerupai mereka ketika sebagian mereka membunuh sebagian yang lain.
Ibnu Baththal berkata,
“Mendengarkan apa yang dikatakan ulama adalah kewajiban bagi para murid/ orang
yang belajar, karena ulama adalah pewaris para Nabi.” Dengan demikian akan
nampak kolerasi antara tema bab dengan isi hadis, karena khutbah Nabi di atas
pada waktu haji wada’ dan manusia yang berkumpul pada waktu itu seperti banyak
untuk melempar jumroh dan melaksanakan amalan haji. Pada waktu itu Rasulullah
berkata mereka, “Ambillah dariku manasik (amalan ibadah) kamu”. Ketika
Rasulullah berkhutbah untuk mengajari mereka, maka beliau menyuruh untuk
mendengar dengan baik.
Di sini ada perbedaan
antara Al Inshat dan Al Istima’ dalam firman Allah,
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْأنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ
وَأَنْصِتُوْا.
Kata
tersebut mempunyai arti yang berbeda, karena kata inshat berarti diam yang
dapat dilakukan oleh orang yang mendengar dan tidak mendengar, seperti
memikirkan yang lain. Sedangkan kata istima’ dapat dilakukan dengan diam atau
berkata-kata yang tidak menyibukkan si pembicara untuk memahami apa yang
didengarnya. Sufyan
Ats-Tsauri dan lainnya mengatakan, “Pangkal ilmu
adalah mendengarkan, lalu memperhatikan, menghafal, mengajarkan dan
menyebarkannya (mengajarkan)”. Adapun riwayat Al Ashma’i, kata Al Inshat lebih
didahulukan daripada Al Istima’. Ali Ibnu Al Madini menyebutkan bahwa ia
mengatakan kepada Ibnu Uyainah, “Mu’tamir bin Sulaiman telah menceritakan
kepadaku dari Kahmis, dari Muthorif. Ia berkata, “Al Inshat adalah berasal dari
kedua mata”. Lalu Ibnu Uyainah berkata kepadanya, “Kami tidak mengetahui
bagaimana itu bisa terjadi?” Ia menjawab, “Jika kamu berbicara dengan orang lain,
lalu ia tidak melihatmu, maka ia tidak dikatakan melakukan inshat
(memperhatikan).” Ini berdasarkan kebiasaan yang sering terjadi.[3]
b) Ketika Usamah bin Syarik mendatangi
Rasulullah, pada saat itu Rasulullah saw. sedang memberikan nasehat kepada sahabat-sahabatnya.
Para sahabat mendengarkan ucapan Rasulullah saw dalam keadaan tenang dan
menundukkan kepala seperti ada burung di atas kepala mereka.
·
Peserta didik tidak dalam posisi jenuh
يَتَخَوَّلُ artinya
يَتَعَهَّد (memperhatikan),
sedangkan مَوْعِظَة berarti nasihat atau peringatan.
Kalimat
yang disebutkan dalam judul bab mengandung maksud kedua hadits yang akan
dijelaskan, sebab kata السّامَة (bosan) dan النفوْرُ (meninggalkan) mempunyai
kemiripan makna.
كَانَ
يَتَخَوَّلُنَا (selalu memilih waktu yang tepat bagi kami). Menurut Al
Khaththabi, kata Al khaa’il (isim fa’il dari khaala) berarti orang yang
memperhatikan atau menjaga harta. Oleh karena itu, maksud dari hadits ini
adalah bahwa Rasulullah selalu memperhatikan aspek waktu dalam memberikan
nasihat kepada kami. Beliau tidak memberikan nasihat setiap waktu, supaya kami
tidak merasa bosan.
أَلتَّخَؤُن (dengan huruf “nun”) juga
mempunyai arti memperhatikan, menjaga atau menjauhi perbuatan khianat.
Diriwayatkan bahwa Abu Amru bin Al ‘Ala mendengar Al A’masy menyampaikan hadits
ini dengan lafadz يَتَخَوَّلُنَا (menggunakan
huruf “lam”), kemudian Abu Amru mengulangnya dengan menggunakan huruf “nun” يَتَخَوَّننا dan Al A’masy tidak membantahnya karena kedua
lafadz tesebut dibolehkan.
Abu Ubaid
Al Harawi menyebutkan dalam kitab Al Gharibiin bahwa yang benar adalah lafadz يَتَحَوَّلُنَا(dengan huruf “ha”), yang artinya
Nabi memperhatikan kondisi kami ketika hendak memberikan nasihat. Dalam
terjemahan kitab Fathul Baari berpendapat bahwa yang benar adalah riwayat
pertama ( يَتَخَوَّلُنَا ), karena Manshur juga meriwayatkan dari Abu Wa’il seperti riwayat Al
A’masy.[4]
C. Nilai Tarbawi
Ø Hendaknya peserta didik memperhatikan
materi pelajaran yang diberikan guru
Ø Hendaknya peserta didik tidak
menyibukkan diri dengan berbicara sendiri dan tidak mendengarkan penjelasan
dari guru
Ø Hendaknya guru selalu memperhatikan
variasi mengajarnya, sehingga siswa tidak merasa bosan
Ø Hendaknya guru mempunyai ketrampilan
yang mendukung tugasnya dalam mengajar.
Ø Hendaknya seorang guru memperhatikan
tata cara yang baik (sisitematis), sehingga apa yang disampaikan akan mudah
dicerna oleh murid.[5]
Ø Hendaknya seorang guru memperhatikan
waktu dalam mengajar.
D. Hadits Pendukung
(أ)
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : يَسِّرُوا وَ لَاتُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَ لَاتُنَفِّرُوا.
Artinya
: “Dari Anas bin Malik bahwa Nabi Saw. bersabda, “Berilah kemudahan dan jangan
kalian mempersulit, berilah berita gembira dan jangan kalian menkut-nakuti.”
(ب)
عَنْ أَبِي وَائِلٍ قَالَ كَانَ عَبْدُ اللهِ يُذَكِّرُ
النَّاسَ في كُلِّ خَمِيْسٍ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ يَا أَبَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ لَوَدِدْتُ
أَنَّكَ ذَكَّرْتَنَا كُلَّ يَوْمٍ قَالَ أَمَا إِنَّهُ يَمْنَعُنِي مِنْ ذَلِكَ أَنِّي
أَكْرَهُ أَنْ أُمَلِّكُمْ وَإِنِّي أَتَخَوَّلُكُمْ بِالْمَوْعِظَةِ كَمَا كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَوَّلُنَا بِهَا مَخَافَةَ السَّامَةِ
عَلَيْنَا.
Artinya
: “Dari Abu Wail, bahwa Abdullah mengajar suatu jamaah setiap hari kamis,
kemudian seorang laki-laki berkata kepadanya, “Hai Abu Abdurrohman, saya
mengharap supaya anda dapat mengajar kami setiap hari.” Abdullah menjawab,
“Saya khawatir kalau kamu sekalian akan merasa bosan, maka saya memilih waktu
yang tepat bagi kalian untuk menerima nasihat, sebagaimana juga Nabi memilih
waktu yang tepat bagi kami untuk belajar agar kami tidak merasa bosan.”[6]
E. Contoh
Dalam
proses belajar mengajar perhatian siswa terhadap materi pelajaran yang
diberikan sangat dituntut. Sedikitpun tidak diharapkan adanya siswa yang tidak
atau kurang memperhatikan penjelasan guru, karena hal itu akan menyebabkan
siswa tidak mengerti akan bahan yang diberikan guru.
Dalam
jumlah siswa yang besar biasanya
ditemukan kesukaran untuk mempertahankan agar perhatian siswa tetap pada materi
pelajaran yang diberikan. Berbagai faktor memang mempengaruhinya. Misalnya
faktor penjelasan guru yang kurang mengenai sasaran, situasi di luar kelas yang
dirasakan siswa lebih menarik dari pada materi pelajaran yang diberikan guru,
siswa yang kurang menyenangi materi pelajaran yang diberikan guru. Oleh karena
itu, guru di tuntut selalu memperhatikan variasi mengajarnya.[7]
PENUTUP
Simpulan
Hadits
di atas menjelaskan bahwa sebagai peserta didik yang mempunyai akhlaq, kita
harus memperhatikan dan mendengarkan semua yang disampaikan oleh guru. Meskipun
yang disampaikan itu sudah pernah kita dengar. Dan seorang pendidik hendaknya
dalam menyampaikan materi tidak monoton, artinya bervariasi bisa dari gaya
mengajar, metode, media, materi, dan juga interaksinya agar peserta didik tidak
merasa bosan. Seorang pendidik juga harus mampu menciptakan suasana kelas yang nyaman
dan tenang, agar peserta didik dapat berkosentrasi dalam menerima materi.
Peserta didik sebagai manusia yang
memiliki potensi dan sekaligus kelemahan individual dan kolektif sesuai dengan
kondisi fisik, psikis dan usianya. Komplektisitas bakat dan minat masing-masing
peserta didik harus dilihat dan diperlakukan secara humanis dengan cara yang
bijak. Situasi dan kondisi lingkungan pembelajaran, baik dari aspek
fisik-materiil, sosial dan psikis emosional. Fasilitas dan media pembelajaran
yang tersedia beserta kualitasnya. Semua itu harus diperhatikan oleh seorang
pendidik dalam penggunaan metode pendidikan Islam.[8]
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad, Al-Imam
Zainuddin bin Abdul Lathif Az-Zabidi. 2000. Ringkasan Shahih Al-Bukhari.
Bandung: Mizan.
Al-Asqalani,
Ibnu Hajar. 2007. Fathul Baari 1. Jakarta: Pustaka Azzam.
Mustakim,
Zaenal. 2011. Strategi dan Metode Pembelajaran. Pekalongan: STAIN Press.
Ramayulis.
2002. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Roqib,
Moh. 2009. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: PT. LKiS.
[1] Al-Imam Zainuddin Ahmad
bin Abdul Lathif Az-Zabidi, Ringkasan Shahih Al-Bukhari, (Bandung: Mizan,
2000), hlm. 49
[2] Ibid., hlm. 33
[3] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul
Baari 1, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 413-414
[4] Ibid., hlm.
307-308
[5] Ramayulis, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 92
[6] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Op.cit.,
hlm. 308-310
[7] Zaenal Mustakim, Op.cit.,
hlm. 220-221
[8] Moh. Roqib, Ilmu
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: PT. LkiS, 2009), hlm. 94
Tidak ada komentar:
Posting Komentar