Translate

Jumat, 15 November 2013

hadits


PENDIDIK MENGAJAR DISAAT PESERTA DIDIK DALAM KONDISI SIAP MENERIMA MATERI
 
PEMBAHASAN

    A.    Hadits dan Terjemah
·         Peserta didik dalam kondisi tenang
(أ‌)               عَنْ جَرِيْرٍ بْنِ عَبْدِ الله أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ : (إِسْتَنْصِتِ النَّاسَ). فَقَالَ : لَا تَرْجِعُوْا بَعْدِي كُفَّارًا، يَضْرِبُ بَعْضَكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ . أخرجه البخرى فى صحيحه كتاب العلم باب الانصات للعلماء.
Artinya:
“Diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah r.a. Nabi Saw. pernah bersabda kepada para sahabatnya pada saat Haji Wada’ (haji penghabisan/perpisahan) Nabi Saw. “Tolong suruh mereka memperhatikan (dan mendengarkan) : “Kemudian Rasulullah Saw. bersabda ditujukan kepada mereka, “Janganlah menjadi kafir setelah kepergianku dengan saling berbunuhan satu sama lain.”[1]
(ب‌)         عَنْ أُسَامَةَ بْنِ شَرِيك قَالَ: (أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا أَصْحَابِهِ عِنْدَهُ كَأَنَّ عَلَى رُؤُوْسِهِمْ الطَّيْر).
Artinya:
Diriwayatkan dari Usamah bin Syarik berkata : “saya telah datang kepada Rasulullah saw. ketika beliau dengan para sahabatnya, mereka tertunduk seperti ada burung diatas kepala.”


عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَوَّلُنَا بِالْمَوْعِظَةِ فِى الْأَيَّامِ، كَرَاهَةَ السَّامَّةِ عَلَيْنَا. أخرجه البخرى فى صحيحه كتاب العلم باب ماكان النبي صلى الله عليه وسلم يتخولنا بالموعظة والعلم كي لاينفروا.
Artinya:
“Diriwayatkan dari Ibn Mas’ud : Nabi Muhammad Saw. memilih waktu yang tepat untuk berkhutbah sehingga kami tidak merasa bosan. (Nabi tidak mengganggu kami dengan melibatkan kami dalam pembicaraan agama dan ilmu pengetahuan terus menerus sepanjang waktu).”[2]

    B.     Penjelasan Hadits
·         Peserta didik dalam kondisi tenang
a)      Sebagian ulama mengatakan bahwa lafadz لَهُ dalam kalimat قَالَ لَهُ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ adalah kata tambahan, karena Jarir masuk Islam kurang lebih dua bulan setelah haji wada’. Ibnu Abdul Barr mengatakan, bahwa Jarir masuk Islam sekitar 40 hari sebelum Rasulullah meninggal dunia, dan apa yang dikatakan ini bertentangan dengan pendapat Al Baghawi yang mengatakan, bahwa Jarir masuk Islam pada bulan Ramadhan tahun kesepuluh. Apa yang dikatakan oleh penulis mengenai hadits ini dalam bab “Haji Wada” bahwa Nabi telah mengatakan kepada Jarir, tidak mengandung unsur takwil, bahkan telah menguatkan perkataan Al Baghawi.
Maksud يَضْرِبُ (memukul) adalah janganlah kalian melakukan perbuatan orang-orang kafir, sehingga kalian menyerupai mereka ketika sebagian mereka membunuh sebagian yang lain.
Ibnu Baththal berkata, “Mendengarkan apa yang dikatakan ulama adalah kewajiban bagi para murid/ orang yang belajar, karena ulama adalah pewaris para Nabi.” Dengan demikian akan nampak kolerasi antara tema bab dengan isi hadis, karena khutbah Nabi di atas pada waktu haji wada’ dan manusia yang berkumpul pada waktu itu seperti banyak untuk melempar jumroh dan melaksanakan amalan haji. Pada waktu itu Rasulullah berkata mereka, “Ambillah dariku manasik (amalan ibadah) kamu”. Ketika Rasulullah berkhutbah untuk mengajari mereka, maka beliau menyuruh untuk mendengar dengan baik.
Di sini ada perbedaan antara Al Inshat dan Al Istima’ dalam firman Allah,
 وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْأنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ وَأَنْصِتُوْا. Kata tersebut mempunyai arti yang berbeda, karena kata inshat berarti diam yang dapat dilakukan oleh orang yang mendengar dan tidak mendengar, seperti memikirkan yang lain. Sedangkan kata istima’ dapat dilakukan dengan diam atau berkata-kata yang tidak menyibukkan si pembicara untuk memahami apa yang didengarnya. Sufyan Ats-Tsauri dan lainnya mengatakan, “Pangkal ilmu adalah mendengarkan, lalu memperhatikan, menghafal, mengajarkan dan menyebarkannya (mengajarkan)”. Adapun riwayat Al Ashma’i, kata Al Inshat lebih didahulukan daripada Al Istima’. Ali Ibnu Al Madini menyebutkan bahwa ia mengatakan kepada Ibnu Uyainah, “Mu’tamir bin Sulaiman telah menceritakan kepadaku dari Kahmis, dari Muthorif. Ia berkata, “Al Inshat adalah berasal dari kedua mata”. Lalu Ibnu Uyainah berkata kepadanya, “Kami tidak mengetahui bagaimana itu bisa terjadi?”  Ia menjawab, “Jika kamu berbicara dengan orang lain, lalu ia tidak melihatmu, maka ia tidak dikatakan melakukan inshat (memperhatikan).” Ini berdasarkan kebiasaan yang sering terjadi.[3]
b)      Ketika Usamah bin Syarik mendatangi Rasulullah, pada saat itu Rasulullah saw. sedang  memberikan nasehat kepada sahabat-sahabatnya. Para sahabat mendengarkan ucapan Rasulullah saw dalam keadaan tenang dan menundukkan kepala seperti ada burung di atas kepala mereka.

·         Peserta didik tidak dalam posisi jenuh
يَتَخَوَّلُ   artinya يَتَعَهَّد (memperhatikan), sedangkan مَوْعِظَة berarti nasihat atau peringatan.
Kalimat yang disebutkan dalam judul bab mengandung maksud kedua hadits yang akan dijelaskan, sebab kata السّامَة  (bosan) dan النفوْرُ (meninggalkan) mempunyai kemiripan makna.
كَانَ يَتَخَوَّلُنَا (selalu memilih waktu yang tepat bagi kami). Menurut Al Khaththabi, kata Al khaa’il (isim fa’il dari khaala) berarti orang yang memperhatikan atau menjaga harta. Oleh karena itu, maksud dari hadits ini adalah bahwa Rasulullah selalu memperhatikan aspek waktu dalam memberikan nasihat kepada kami. Beliau tidak memberikan nasihat setiap waktu, supaya kami tidak merasa bosan.
أَلتَّخَؤُن  (dengan huruf “nun”) juga mempunyai arti memperhatikan, menjaga atau menjauhi perbuatan khianat. Diriwayatkan bahwa Abu Amru bin Al ‘Ala mendengar Al A’masy menyampaikan hadits ini dengan lafadz يَتَخَوَّلُنَا (menggunakan huruf “lam”), kemudian Abu Amru mengulangnya dengan menggunakan huruf “nun” يَتَخَوَّننا  dan Al A’masy tidak membantahnya karena kedua lafadz tesebut dibolehkan.
Abu Ubaid Al Harawi menyebutkan dalam kitab Al Gharibiin bahwa yang benar adalah lafadz  يَتَحَوَّلُنَا(dengan huruf “ha”), yang artinya Nabi memperhatikan kondisi kami ketika hendak memberikan nasihat. Dalam terjemahan kitab Fathul Baari berpendapat bahwa yang benar adalah riwayat pertama ( يَتَخَوَّلُنَا ), karena Manshur juga meriwayatkan dari Abu Wa’il seperti riwayat Al A’masy.[4]

    C.     Nilai Tarbawi

Ø  Hendaknya peserta didik memperhatikan materi pelajaran yang diberikan guru
Ø  Hendaknya peserta didik tidak menyibukkan diri dengan berbicara sendiri dan tidak mendengarkan penjelasan dari guru
Ø  Hendaknya guru selalu memperhatikan variasi mengajarnya, sehingga siswa tidak merasa bosan
Ø  Hendaknya guru mempunyai ketrampilan yang mendukung tugasnya dalam mengajar.
Ø  Hendaknya seorang guru memperhatikan tata cara yang baik (sisitematis), sehingga apa yang disampaikan akan mudah dicerna oleh murid.[5]
Ø  Hendaknya seorang guru memperhatikan waktu dalam mengajar.

       D.    Hadits Pendukung

(أ‌)               عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : يَسِّرُوا وَ لَاتُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَ لَاتُنَفِّرُوا.
Artinya : “Dari Anas bin Malik bahwa Nabi Saw. bersabda, “Berilah kemudahan dan jangan kalian mempersulit, berilah berita gembira dan jangan kalian menkut-nakuti.”

(ب‌)         عَنْ أَبِي وَائِلٍ قَالَ كَانَ عَبْدُ اللهِ يُذَكِّرُ النَّاسَ في كُلِّ خَمِيْسٍ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ يَا أَبَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ لَوَدِدْتُ أَنَّكَ ذَكَّرْتَنَا كُلَّ يَوْمٍ قَالَ أَمَا إِنَّهُ يَمْنَعُنِي مِنْ ذَلِكَ أَنِّي أَكْرَهُ أَنْ أُمَلِّكُمْ وَإِنِّي أَتَخَوَّلُكُمْ بِالْمَوْعِظَةِ كَمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَوَّلُنَا بِهَا مَخَافَةَ السَّامَةِ عَلَيْنَا.
Artinya : “Dari Abu Wail, bahwa Abdullah mengajar suatu jamaah setiap hari kamis, kemudian seorang laki-laki berkata kepadanya, “Hai Abu Abdurrohman, saya mengharap supaya anda dapat mengajar kami setiap hari.” Abdullah menjawab, “Saya khawatir kalau kamu sekalian akan merasa bosan, maka saya memilih waktu yang tepat bagi kalian untuk menerima nasihat, sebagaimana juga Nabi memilih waktu yang tepat bagi kami untuk belajar agar kami tidak merasa bosan.”[6]

     E.     Contoh
Dalam proses belajar mengajar perhatian siswa terhadap materi pelajaran yang diberikan sangat dituntut. Sedikitpun tidak diharapkan adanya siswa yang tidak atau kurang memperhatikan penjelasan guru, karena hal itu akan menyebabkan siswa tidak mengerti akan bahan yang diberikan guru.
Dalam jumlah siswa yang besar  biasanya ditemukan kesukaran untuk mempertahankan agar perhatian siswa tetap pada materi pelajaran yang diberikan. Berbagai faktor memang mempengaruhinya. Misalnya faktor penjelasan guru yang kurang mengenai sasaran, situasi di luar kelas yang dirasakan siswa lebih menarik dari pada materi pelajaran yang diberikan guru, siswa yang kurang menyenangi materi pelajaran yang diberikan guru. Oleh karena itu, guru di tuntut selalu memperhatikan variasi mengajarnya.[7]



PENUTUP

Simpulan

Hadits di atas menjelaskan bahwa sebagai peserta didik yang mempunyai akhlaq, kita harus memperhatikan dan mendengarkan semua yang disampaikan oleh guru. Meskipun yang disampaikan itu sudah pernah kita dengar. Dan seorang pendidik hendaknya dalam menyampaikan materi tidak monoton, artinya bervariasi bisa dari gaya mengajar, metode, media, materi, dan juga interaksinya agar peserta didik tidak merasa bosan. Seorang pendidik juga harus mampu menciptakan suasana kelas yang nyaman dan tenang, agar peserta didik dapat berkosentrasi dalam menerima materi.
            Peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi dan sekaligus kelemahan individual dan kolektif sesuai dengan kondisi fisik, psikis dan usianya. Komplektisitas bakat dan minat masing-masing peserta didik harus dilihat dan diperlakukan secara humanis dengan cara yang bijak. Situasi dan kondisi lingkungan pembelajaran, baik dari aspek fisik-materiil, sosial dan psikis emosional. Fasilitas dan media pembelajaran yang tersedia beserta kualitasnya. Semua itu harus diperhatikan oleh seorang pendidik dalam penggunaan metode pendidikan Islam.[8]









DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Al-Imam Zainuddin bin Abdul Lathif Az-Zabidi. 2000. Ringkasan Shahih Al-Bukhari. Bandung: Mizan.

Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2007. Fathul Baari 1. Jakarta: Pustaka Azzam.
Mustakim, Zaenal. 2011. Strategi dan Metode Pembelajaran. Pekalongan: STAIN Press.
Ramayulis. 2002. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Roqib, Moh. 2009. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: PT. LKiS.




















[1] Al-Imam Zainuddin Ahmad bin Abdul Lathif Az-Zabidi, Ringkasan Shahih Al-Bukhari, (Bandung: Mizan, 2000),  hlm. 49
[2] Ibid., hlm. 33
[3] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari 1, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 413-414
[4] Ibid., hlm. 307-308
[5] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 92
[6] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Op.cit., hlm. 308-310
[7] Zaenal Mustakim, Op.cit., hlm. 220-221
[8] Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: PT. LkiS, 2009), hlm. 94

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent

Comments

About