Makalah
ini disusun guna melengkapi tugas :
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PEKALONGAN
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam
kehidupan ini, kita dituntut dengan kewajiban-kewajiban agama yang selalu
mengikat kita untuk mengerjakan kewajiban tersebut, untuk melakukan kewajiban
tersebut tentu kita haru mempelajarinya dahulu sebelum mengerjakan hal
tersebut. Dan untuk mempelajari hal tersebut, kita harus memulainya sejak di
bangku sekolah.
Untuk meningkatkan kualitas agama dan kualitas moral yang baik tentu seorang perserta didik harus ditunjang dengan pendidikan agama islam yang luas dan mendalam. Karena dalam kenyataan yang kita hadapi sekarang, pendidikan agama justru mengalami kemerosotan di dalam dunia pendidikan, sehingga banyak muncul peserta didik yang akhlaknya tidak baik dan bahkan tidak bermoral. Hal tersebut didasari karena kurangnya pengetahuan peserta didik tentang larangan-larangan agama dan hukum-hukum tentang agama.
Untuk mengurangi dampak negatif dari hal tersebut, tentu sarana pendidikan harus dapat meningkatkan kualitas agama dan lebih menekankan pendidikan agama terhadap peserta didik.
Untuk meningkatkan kualitas agama dan kualitas moral yang baik tentu seorang perserta didik harus ditunjang dengan pendidikan agama islam yang luas dan mendalam. Karena dalam kenyataan yang kita hadapi sekarang, pendidikan agama justru mengalami kemerosotan di dalam dunia pendidikan, sehingga banyak muncul peserta didik yang akhlaknya tidak baik dan bahkan tidak bermoral. Hal tersebut didasari karena kurangnya pengetahuan peserta didik tentang larangan-larangan agama dan hukum-hukum tentang agama.
Untuk mengurangi dampak negatif dari hal tersebut, tentu sarana pendidikan harus dapat meningkatkan kualitas agama dan lebih menekankan pendidikan agama terhadap peserta didik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian pendidikan agama islam disekolah umum
Pendidikan
agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiaapkan peserta didik
untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani ajaran agama Islam,
dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam
hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan
persatuan bangsa (kurikulum PAI, 3 : 2002).
Munculnya anggapan-anggapan yang kurang menyenagkan tentang pendidikan agama seperti Islam diajarkan lebih pada hafalan (padahal Islam penuh dengan nilai-nilai) yang harus dipraktekan. Pendidikan agama lebih ditekankan pada hubungan formalitas antara hamba dengan Tuhannya, penghayatan nilai-nilai agama kurang mendapat penekanan dan masih terdapat sederet respons kritis terhadap pendidikan agama. Hal ini disebabkan penilaian kelulusan siswa dalam pelajaran agama diukur dengan berapa banyak hafalan dan mengerjakan ujian tertulis dikelas yang dapat didemonstrasikan oleh siswa.
Memang pola pembelajaran tersebut bukanlah khas pola pendidikan agama. Pendidikan secara umum pun diakui oleh para ahli dan pelaku pendidikan negara kita yang juga mengidap masalah yang sama. Masalah besar dalam pendidikan selama ini adalah kuatnya dominasi pusat dalam penyelenggaraan pendidikan sehingga yang muncul uniform-sentralistik kurikulum, model hafalan dan menolong, materi ajar yang banyak, serta kurang menekankan pada penbentukan karakter bangsa.
Mata pelajaran Pendidikan Agama Islam itu secara keseluruhannya dalam lingkup Al-Qur’an dan Al-Hadist, keimanan, akhlak, fiqh/ibadah, dan sejarah, sekaligus menggambarkan bahwa ruang lingkup Pendidikan Agama Islam mencakup perwujudan keserasian, keselerasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainya maupun lingkungannya (hablun minallah wa hablun minannas).
Jadi pelaksanaan pendidikan agama Islam merupakan usaha sadar yang dilakukan pendidik dalam rangka mempersiapkan peserta didik untuk meyakini, memahami, dan mengamalkan ajaran agama Islam melalui kegiatan bimbingan ditetapkan.[1]
Munculnya anggapan-anggapan yang kurang menyenagkan tentang pendidikan agama seperti Islam diajarkan lebih pada hafalan (padahal Islam penuh dengan nilai-nilai) yang harus dipraktekan. Pendidikan agama lebih ditekankan pada hubungan formalitas antara hamba dengan Tuhannya, penghayatan nilai-nilai agama kurang mendapat penekanan dan masih terdapat sederet respons kritis terhadap pendidikan agama. Hal ini disebabkan penilaian kelulusan siswa dalam pelajaran agama diukur dengan berapa banyak hafalan dan mengerjakan ujian tertulis dikelas yang dapat didemonstrasikan oleh siswa.
Memang pola pembelajaran tersebut bukanlah khas pola pendidikan agama. Pendidikan secara umum pun diakui oleh para ahli dan pelaku pendidikan negara kita yang juga mengidap masalah yang sama. Masalah besar dalam pendidikan selama ini adalah kuatnya dominasi pusat dalam penyelenggaraan pendidikan sehingga yang muncul uniform-sentralistik kurikulum, model hafalan dan menolong, materi ajar yang banyak, serta kurang menekankan pada penbentukan karakter bangsa.
Mata pelajaran Pendidikan Agama Islam itu secara keseluruhannya dalam lingkup Al-Qur’an dan Al-Hadist, keimanan, akhlak, fiqh/ibadah, dan sejarah, sekaligus menggambarkan bahwa ruang lingkup Pendidikan Agama Islam mencakup perwujudan keserasian, keselerasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainya maupun lingkungannya (hablun minallah wa hablun minannas).
Jadi pelaksanaan pendidikan agama Islam merupakan usaha sadar yang dilakukan pendidik dalam rangka mempersiapkan peserta didik untuk meyakini, memahami, dan mengamalkan ajaran agama Islam melalui kegiatan bimbingan ditetapkan.[1]
B.
Landasan Yuridis Pelaksanaan PAI
Sebagai bangsa
indonesia kita harus mengartikan pendidikan sebagai perjuangan bangsa,
yaitupendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa indonesiadan berdasarkan
pada pancasila dan UUD 45. Dalam operasionalisasinya, pendidikan nasional
tersebut dikelompokan kedalam berbagai jenis sesuai dengan sifat dan kekhususan
tujuannya, yang dikelola dalam perjenjangan sesuai dengan tahapan atau tingkat
peserta didik, keluasaan dan kedalaman bahan pengajaran. Dengan demikian,
sisitem pendidikan khususnya islam, secara macro merupakan usaha
pengorganisasian proses kegiatan kependidikan yang berdasarkan ajaran islam dan
pendekatan sistematik, sehingga dalam pelaksanaan opreasionalnya terdiri dari
berbagai sub-sub sistem dari jenjang pendidikan pra dasar, menengah atau
perguruan tinggi yang harus memiliki vertikalitas dalam kualitas ke ilmu pengetahuan
dan keteknologian yang makin optimal, yang
mana tiap tingkat, keimanan dan ketakwaan kepada allah akan meninggika
derajat lebi tinggi bagi orang yang beriman dan berilmu pengetahuan.
Hakikat pembangunan nasional adalah membangun manusia indonesia indonesia seutuhnya dan seluruh mansyarakat indonesia yang berlandaskan pancasila dan UUD 45, maka jelaslah tersirat dalam rumusan GBHN tersebut suatu idealitas yang sangat tinggi nilainya karena pandangan dasar bahwa manusia yang utuh lahiriyah dan jasmaniayah, seimbang, selaras dan serasi antara dunia dan akhirat dan sebagainya yang mampu menjadi pemeran aktif dalam pembangunan.[2]
Pendidikan agama wajib dilaksanakandisemua lingkungan pendidikan oleh semua unsur penanggung jawab pendidikan, mengingat pendindikan agama di negeri pancasilayang kita cintai ini bukan semata-mata panggilan misional yang mengikat seluruh bangsa untuk menyukseskan, seperti halnya dengan komponen dasar pendidikan lainya, misalnya PMP< pendidikan P-4, PSPB yang satu sama lain harus saling mengembangkan dan berkaitan atau saling mengacu, meskipun pada masing-masing lingkungan tersebut intensitas pengaruh dan efektifnya tidak sama karena berbagai faktor dan fasilitas yang berbeda.
Dasar pelaksanaan pendidikan agama berasal dari perundang-undangan yang secara tidak langsung dapat menjadi pegangan dalam melaksanakan pendidikan agama di sekolah secara formal. Dasar yuridis formal tersebut terdiri dari tiga macam, yaitu :
1. Dasar ideal, yaitu dasar falsafah Negara Pancasila, sila pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Dasar structural/konstitusional, yaitu UUD ’45 dalam Bab XI pasal 29 ayat 1 dan 2, yang berbunyi: 1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaan itu.
3. Dasar operasional, yaitu terdapat dalam Tap MPR No IV/MPR/1973 yang kemudian dikokohkan dalam Tap MPR No. IV/MPR 1978 jo. Ketetapan MPR Np. II/MPR/1983, diperkuat oleh Tap. MPR No. II/MPR/1988 dan Tap. MPR No. II/MPR 1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang pada pokoknya menyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan agama secara langsung dimaksudkan dalam kurikulum sekolah-sekolah formal, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.[3]
Hakikat pembangunan nasional adalah membangun manusia indonesia indonesia seutuhnya dan seluruh mansyarakat indonesia yang berlandaskan pancasila dan UUD 45, maka jelaslah tersirat dalam rumusan GBHN tersebut suatu idealitas yang sangat tinggi nilainya karena pandangan dasar bahwa manusia yang utuh lahiriyah dan jasmaniayah, seimbang, selaras dan serasi antara dunia dan akhirat dan sebagainya yang mampu menjadi pemeran aktif dalam pembangunan.[2]
Pendidikan agama wajib dilaksanakandisemua lingkungan pendidikan oleh semua unsur penanggung jawab pendidikan, mengingat pendindikan agama di negeri pancasilayang kita cintai ini bukan semata-mata panggilan misional yang mengikat seluruh bangsa untuk menyukseskan, seperti halnya dengan komponen dasar pendidikan lainya, misalnya PMP< pendidikan P-4, PSPB yang satu sama lain harus saling mengembangkan dan berkaitan atau saling mengacu, meskipun pada masing-masing lingkungan tersebut intensitas pengaruh dan efektifnya tidak sama karena berbagai faktor dan fasilitas yang berbeda.
Dasar pelaksanaan pendidikan agama berasal dari perundang-undangan yang secara tidak langsung dapat menjadi pegangan dalam melaksanakan pendidikan agama di sekolah secara formal. Dasar yuridis formal tersebut terdiri dari tiga macam, yaitu :
1. Dasar ideal, yaitu dasar falsafah Negara Pancasila, sila pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Dasar structural/konstitusional, yaitu UUD ’45 dalam Bab XI pasal 29 ayat 1 dan 2, yang berbunyi: 1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaan itu.
3. Dasar operasional, yaitu terdapat dalam Tap MPR No IV/MPR/1973 yang kemudian dikokohkan dalam Tap MPR No. IV/MPR 1978 jo. Ketetapan MPR Np. II/MPR/1983, diperkuat oleh Tap. MPR No. II/MPR/1988 dan Tap. MPR No. II/MPR 1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang pada pokoknya menyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan agama secara langsung dimaksudkan dalam kurikulum sekolah-sekolah formal, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.[3]
C.
Masalah Dan Kendala Pelaksanaan PAI
di Sekolahan Umum
Selama ini pelaksanaan pendidikan agama
yang berlangsung disekolah masih mengalami banyak kelemahan. Mochtar Buchori
menilai pendidikan agama masih gagal. Kegagalan disebabkan karena praktek
pendidikan hanya memperhatikan aspek kognitif semata dari pertumbuhan kesadaran
nilai-nilai agama, dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konatif-voletif,
yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Akibat
terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan, antara gnosis dan
praxis dalam kehidupan nilai agama atau dalam praktek pendidikan agama berubah
menjadi pengajaran agama, sehingga tidak membentuk pribadi-pribadi bermoral,
padahal intisari dri pendiikan agama adalah pendidikan moral.[4]
Dalam pelaksanaan progam pendidikan
agama diberbagai sekolah umum, belum seperti yang kita harapkan, karena
berbagai kendala dalam bidang kemampuan pelaksanaan metode, sarana fisik dan
non fisik. Disamping suasana lingkungan pendidikan yang kurang menunjang
suksesnya pendidikan mental spiritual dan moral. Padahal fasilitas dasarnya
telah disediakan oleh pemerintah melalui Tap-Tap MPR, pengaturan perundangan
lainya, serta berbagai proyek pembangunan sektor agama dan pendidikan.
Beberapa faktor yang menghambat
pendidikan agama :
1.
Faktor-faktor eksternal
a.
Timbulnya sikap orang tua dibeberapa lingkungan sekitar yang kurang
menyadari tentang pentingnya pendidikan agama, tidak mengacuhkan akan
pentingnya pemantapan pendidikan agama di sekolah yang berlanjut di rumah.
Orang tua yang bersikap demikian disebabkan oleh dampak kebutuhan ekonomisnya
yang mendorong bekerja 20 jam di luar rumah, sehingga mereka menyerahkan
sepenuhnya kepada sekolah untuk mendidik anaknya 2 jam per minggu.
b.
Situasi lingkungan sekitar sekolah di pengaruhi godaan-godaan setan
dalam berbagai raga bentuknya, seperti judi, tontonan porno dan maksiat-maksiat
lainnya. Situasi yang demikian dapat melemahkan daya konsentrasi berfikir dan
berakhlaq mulia, serta mengurangi gaya belajar, bahkan mengurangi daya saing
dalam meraih kemajuan.
c.
Adanya gagasan baru dari para ilmuan untuk mencari terobosan baru
terhadap berbagai problema pembangunan dan kehidupan remaja, menyebabkan para
pelajar secara latah mempraktekan makna yang keliru atats kata-kata yang
terobosan menjadi mengambil jalan pintas dalam mengejar cita-citanya tanpa
melihat cara-cara yang halal dan haram, seprti mencontek, membeli soal-soal
ujian akhir, perolehan nilai secara aspal, bahkan ada yang menghalalkan cara
apapun seprti doktrin komunisme.
d.
Timbulnya sikap frustasi dikalangan orang tua yang beranggapan
bahwa tingginya tingkat pendidikan, tidak akan menjamin anaknya untuk mendapatkan
pekerjaan yang layak, sebab perluasan lapangan kerja tidak dapat mengimbangi
banyaknya pencari kerja.
e.
Serbuan dampak kemajuan ilmu dan teknologi dari luar negri semakin
melenturkan perasan religius dan meleberkan kesenjangan antara nilai
tradisional dengan nilai rasional teknologis, menjadi sumber transisi nilai
yang belum menentukan arah dan pemukiman yang baru.
2.
Faktor-faktor internal
a.
Guru kurang kompeten utnuk menjadi tenaga profesional pendidikan
atau jabatan guru yang disandangnya hanya merupakan pekerjaan alternatif
terakhir, tanpa menekuni tugas sebenarnya selaku guru yang berkualitas atau
tanpa ada rasa dedikasi sesuai tuntutan pendidikan.
b.
Penyalah gunaan menejemen penempatan yang mengalih tugaskan guru
agama ke bagian administrasi, seperti perpustakaan, atau pekerjaan non guru.
c.
Pendekatan metologi guru masih terpaku kepada orientasi
tradisionali, sehingga tidak mampu menarik minat murid pada pelajaran agama.
d.
Kurangnya rasa solidaritas antra guru agama dengan guru - guru
bidang studi umum, sehingga timbul sikap memencilkan guru agama, yang mengakibatkan
pelaksanaan pendidikan agama tersendat-sendat dan kurang terpadu.
e.
Kurangnya waktu persiapan guru agama dalam mengajar karena
disibukan oleh usaha nonguru untuk mencukupi kebutuhan ekonomi sehari-hari atau
mengajar di sekolah-sekolah suasta.
f.
Hubungan guru agama dengan murid hanya bersifat formal, tanpa
berkelanjutan dalam situasi informal di luar kelas.
g.
Belum mantapnya landasan
perundangan yang menjadi dasar terpijaknya pengolahan pendikan agama dalam
sistem pendidikan nasional, termasuk pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan
islam.[5]
BAB
III
PENUTUP
Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan
peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani ajaran agama
Islam, dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam
hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan
persatuan bangsa.
Nagara indonesia telah mengatur tentang pendidikan agama yang
diadakan di sekolahan-sekolahan umum, tetapi masih banyak kendala yang dihadapi
dalam pelaksanaanya. Hal tersebut didasari karena tidak adanya kerjasama antara
guru umum dan guru agama, sehingga kesan yang diterima seperti meng-anak
tirikan tentang pendidikan agama.
DAFTAR
PUSTAKA
Majid
Abdul, Pendidikan Islam Berbasis Kompetensi, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2004,
Djamaludin
Drs., Kapita Selekta Pendidikn Islam, Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 1999,
Muhaimin Prof. Dr., M.A., Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, Madrasah Dan Perguruan Tinggi, Jakarta:
PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2010,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar