PEMBAHASAN
A.
Riwayat hidup Ar-Razi (Rhazes)
Nama lengkapnya
adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Zakaria Ibn Yahya Ar-Razi ia lahir di dekat Teheran yaitu di Ray pada 1 sya’ban 251H (865M). Ia hidup pada pemerintahan
dinasti saman (204-395 H). Pada masa mudanya, ia menjadi tukang intan,
penukar uang, dan sebagai pemusik kecapi. Di kota Ray ini ia belajar
kedokteran kepada Ali Ibn Rabban al-Thobari (192-240 H/ 808-855), belajar
filsafat kepada Al-Balkhi, seorang yang tenang mengembara, menguasai
Filsafat dan ilmu-ilmu kuno. Ia juga belajar matematika, astronomi, sastra dan
kimia.[1]
Sebenarnya
ayahnya berharap agar Ar-Razi mengikuti profesinya sebagai pedagang. Namun
ternyata Ar-Razi lebih memilih bidang intelektual dari pada pedagang. Ini
menjadi bukti bahwa ia lebih memilih perkara-perkara yang lebih besar
ketimbang hanya mementingkan materi saja.
Di kotanya
merupakan tempat pertemuan berbagai pendapat, terutama peradapan Yunani dan
Persia. Oleh karena itu tidak mengherankan kota-kota di Persia (Iran) ini telah
mengenal peradapan yang tinggi jauh sebelum bangsa arab mengenalnya. Hal ini
mendorong bakat Ar-Razi tampil sebagai seorang intelektual.
Ar-Razi terkenal
sebagai seorang dokter yang dermawan, penyanyang kepada pasien-pasiennya, karena itu ia sering memberikan pengobatan cuma-cuma kepada
orang-orang miskin. Karena reputasinya di bidang kedokteran ini, Ar-Razi pernah
diangkat menjadi kepala rumah sakit Rayy pada masa pemerintahan Gubernur Al-Mansur
ibnu Ishaq. Kemudian ia pernah ke Baghdad dan memimpin rumah sakit disana
pada masa pemerintahan Khalifah Al-Muktafi. Ia meninggal dunia pada tanggal
5 Sya’ban 313 H/27 oktober 925 M dalam usia 60 tahun.[2]
Disiplin ilmu Ar-Razi
meliputi ilmu falak, matematika, kimia, kedokteran, dan filsafat, namun ia lebih
terkenal sebagai ahli kimia dan ahli kedokteran dibanding seorang filosof.
B. Karya Tulis Ar-Razi (Rhazes)
Ar-Razi
termasuk seorang filosof yang rajin belajar dan menulis sehingga tidak
mengherankan ia banyak menghasilkan karya tulis. Dalam autobiografinya pernah
ia katakan, bahwa ia telah menulis tidak kurang dari 200 buah karya tulis.
Karya tulisnya antara lain:
·
Kitab Al-Asrar( bidang kimia, diterjemahkan ke dalam bahasa
latin oleh Geard fo Cremon )
·
Al-Hawi (merupakan
ensiklopedia kedokteran sampai abad ke 16 di Eropa, setelah diterjemahkan
kedalam bahasa lathin tahun 1279 dengan judul Contineus )
·
Al-Mansuri Liber Al-Mansoris ( bidang kedokteran, 10 jilid )
·
Kitab Al-Judar wa Al-Hasbah ( tentang analisa penyakit cacar dan campak serta pencegahannya ),
serta dalam bidang filsafat
·
Al-Thibb Al-Ruhani
·
Al-Sirah Al-Falsafiyyah
·
Amanah Al-Iqbal Al-Dawlah
·
Kitab Al-Ladzdzah
·
Kitab Al-‘Ilm Al-Illahi
·
Maqalah fi ma Ba’d Al-Thabi’iyyah
C.
Filsafat
Ar-Razi (Rhazes)
1.
Metafisika
Filsafat
Al-Razi terkenal dengan ajarannya Lima yang Kekal, yakni:
ü Al-Bary Ta’ala (Allah Ta’ala)
ü Al-Nafs Al-Kulliyyat (Jiwa
Universal)
ü Al-Hayula Al-Ula (materi
Pertama)
ü Al-Makan Al-Muthlaq (Tempat/Ruang
Absolut)
Menurut Ar-Razi
dua dari Lima kekal itu hidup dan aktif: Allah dan roh. Satu diantaranya tidak
hidup dan pasif, yakni materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif, dan tidak
pula pasif, yakni ruang dan masa.[5]
Allah adalah maha
pencipta dan pengatur seluruh alam ini. Alam dicipatakan Allah bukan dari tidak
ada (Creatio ex Nihilo), tetapi dari bahan yang telah ada. Oleh karena
itu, menurutnya alam semesta tidak Kadim, baharu, meskipun materi asalnya
Kadim, sebab penciptaan di sini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada.[6]
Jiwa universal
merupakan Al-Mabda’ Al-Qadim Al-Sany (sumber kekal yang kedua). Padanya
terdapat daya hidup dan bergerak, -sulit diketahui karena ia tanpa rupa- tetapi
karena ia dikuasai nalusi untuk bersatu dengan Al-Hayula Al-‘Ula (materi
pertama), terjadilah pada zatnya rupa yang dapat menerima fisik.
Begitu pula
Allah menciptakan akal. Ia merupakan limpahan dari Allah. Tujuan penciptaannya
untuk menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik manusia, bahwa tubuh itu
bukanlah tempat yang sebenarnya, bukan tempat kebahagiaan dan tempat abadi.
Kesenangan dan sebenarnya adalah melepaskan diri dari materi dengan jalan
filsafat.[7]
Materi pertama
adalah kekal (jauhar qadim). Ia disebut juga hayula muthlaq, yang tidak lain
adalah atom-atom yang tidak bisa dibagi
lagi. Pendapat Ar-Razi seperti ini mengesankan mirip dengan Demokritos, namun
pendapatnya jelas berbeda.
Telah
disebutkan bahwa materi bersifat kekal karena ia menempati ruang, maka ruang
juga kekal. Ruang dipahami oleh Ar-Razi sebagai konsep yang abstrak, yang berbeda dengan aristoteles yang mengatakan
“tempat” tidak bisa dipisahkan secara
logis dari tubuh yang menempatinya. Oleh karena itu, ruang menurut Ar-Razi
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: ruang partikular (al-makan
al-juz’i) dan ruang universal (al-makan al-kully). Ruang universal
juga disebut al-khala (kosong) dan ruangi nilah yang disebut dengan
ruang yang kekal.
Adapun waktu,
menurut Ar-Razi adalah substansi yang mengalir (jauhar yajri) dan
bersifat kekal. Ar-Razi membagi waktu menjadi dua bagian, yaitu:
·
waktu mutlaq (al-dahr) adalah zaman yang tidak memiliki awal
dan akhir serta bersifat universal.
·
waktu relatif (al-mahsur atau al-waqt) adalah waktu
yang berlandaskan pada pergerakan planet-planet, bintang-bintang dan materi.
Bersifat partikular dan tidak kekal serta terbatas karena ia terikat dengan
gerakan terbit dan tenggelamnya matahari.
2.
Moral
Adapun
pemikiran Ar-Razi tentang moral, sebagai tertuamh dalam bukunya Al-Thib
al-Ruhani dan Al-Sirah
al-Falsafiyyah, bahwa tingkah laku pun mestilah berdasarkan petunjuk
rasio. Hawa nafsu harus berada dibawah kendali akal dan agama.
Berkaitan
dengan jiwa, Ar-Razi mengharuskan seorang dokter untuk mengetahui kedokteran
jiwa (al-Thibb al-Ruhani) dan kedokteran tubuh (al-Thibb al-jasmani)
secara bersama-sama. Kebutuhan kepada kedokteran jiwa adalah untuk menjaga
keseimbangan jiwa, agar tidak minus maupun over. Menurutnya terdapat hubungan
yang erat antara jiwa dan tubuh. Misalnya, emosi seseorang tidak akan terjadi
kecuali dengan melalui persepsi indrawi. Hal ini dapat berpengaruh terhadap
moral seseorang.
3.
Akal, Kenabian dan Wahyu
Ar-Razi menyanggah bahwa untuk keteraturan hidup, manusia
membutuhkan Nabi, karena menurutnya akal adalah karunia terbesar Allah yang
terbesar untuk manusia. Dengan akal manusia dapat memperoleh pengetahuan.
Karena itu,manusia tidak boleh menyia-nyiakan dan mengekang ruang gerak akal.
Pandangan Ar-razi yang mengkultuskan kekuatan akal ini menjadikan ia
tidak percaya kepada wahyu dan adanya Nabi sebagai diutarakannya dalam
bukunya Naqd al-Adyan au fi an-Nubuwwah (kritik terhadap Agama-agama
atau terhadap Kenabian). Menurutnya nabi tidak berhak mengklaim dirinya sebagai
seorang yang memiliki keistimewaan khusus baik pikiran maupun rohani, karena semua
orang itu sama dan keadilan Tuhan serta hikmah-Nya mengharuskan tidak
membedakan antara yang satu dengan yang lainnya.
Berkaitan dengan sanggahan terhadap wahyu dan nabi sebagai pembawa
berita eskatologis (alam keakhiratan), seperti kematian, bagi Ar-Razi, kematian
bukanlah suatu hal yang perlu ditakuti , karena bila tubuh hancur maka ruh juga
ikut hancur. Setelah mati, tak sesuatupun terjadi pada manusia karena ia tidak
merasakan apa-apa lagi.
Ar-Razi juga mengkritik kitab-kitab suci, baik injil maupun
Al-Qur’an. Ia menolak mukjizat Al-Qur’an baik dari segi isi maupun gaya
bahasanya. Menurutnya, orang mungkin saja dapat menulis kitab yang lebih baik
dengan gaya bahasa yang lebih indah.
Ar-Razi, tidak berarti seorang yang atheis, karena ia masih tetap meyakini
adanya Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta, sebab itu ia lebih tepat
disebut seorang Rasionalis murni.
Adapun tentang pemikiran Ar-Razi tentsng Lima kekal, tidak otomatis
ia menjadi zindik, apalagibi la dinilai dengan Al-Qur’an, tidak satu ayatpun
yang secara Qath’i bertentangan dengan pemikiran tersebut. Karena itu, tidak
tertutup kemungkinan benar pemikiran Ar-Razi tersebut.
Demikian diantara ungkapan Ar-Razi yang di nilai menyimpang dari
agama. Tuduhan ini jelas akan membawa rusaknya Ar Razi. Bahkan Harun Nasution
mengatakan bahwa Ar Razi adalah filosof muslim yang berani mengeluarkan
pendapat-pendapatnya sungguhpun bertentangan dengan paham yang dianut umat
islam.
Badawi menerangkan alasan Ar Razi
dalam menolak kenabian sebagai berikut:
a.
Akal sudah memadahi untuk membedakan antara yang baik dan yang
jahat, yang berguna dan yang tidak berguna dengan akal saja manusia mampu
mengetahui Allah dalam mengatur kehidupan sebaik-baiknya.
b.
Tidak ada alasan yang kuat bagi pengistimewaan beberapa orang untuk
membimbing semua orang karena semua orang lahir dengan kecerdasan yang sama.
c.
Para nabi saling bertentangan. Pertentangan tersebut seharusnya
tidak ada jika mereka berbicara atas nama Allah.[8]
Kesimpulan
Memang
harus diakui bahwa Ar Razi memberi perhatian yang cukup besar pada akal.
Indikasi ke arah ini dapat dilihat bahwa ia menulis tentang akal pada bab
tersendiri. Namun tidak sampai meletakan wahyu dibawah akal. Apalagi tidak
percaya pada wahyu. Bahkan ia didalam buku-bukunya sering menulis sholawat
kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai penghormatan kepada beliau. Dan mewajibkan
untuk memuliyakan nabi sebab mereka adalah manusia pilihan yang memiliki
pribadi muliya.
Ar
razi lebih terkenal sebagai ahli dakam ilmu kedokteran (sains) ketimbang ilu
spekulatif (filsafat). Oleh karena itu, dalam penjelasannya tentang akal berdasarkan
semangat rasional empiris eksperimental, hal yang mengesankan bahwa ia terkesan
tidak percaya kepada wahyu, namun kenyataan ini tidak dapat ditemukan dalam
tulisan-tulisannya.
[1] Dr. Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam(Jakarta: Gaya Media Pratama,
1999), hlm. 24
[2] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M. A., Filsafat Islam filosof dan
filsafatnya (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 451
[3]Ibid, hlm. 25
[4]Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M. A., Filsafat Islam filosof dan
filsafatnya (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 117
[5] Harun Nasution, Falsafat dan Misticisme dalam Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1999), hlm. 15
[6]Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M. A., Filsafat Islam filosof dan
filsafatnya (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 117
[7]Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M. A., Filsafat Islam filosof dan
filsafatnya (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 118
[8] Abdul Rahman Badawi, “ Muhammad
Ibnu Zakaria Ar Razi,” dalam M.M.Syarif, Para Filosof Muslim, terj. Fuad
muhammad fahrudin, (bandung: Mizan, 1996), hlm. 47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar