Translate

Kamis, 12 September 2013

filsafat islam



PEMBAHASAN

A.    Riwayat hidup Ar-Razi (Rhazes)
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Zakaria Ibn Yahya Ar-Razi ia lahir di dekat Teheran yaitu di Ray pada 1 sya’ban  251H (865M). Ia hidup pada pemerintahan dinasti saman (204-395 H). Pada masa mudanya, ia menjadi tukang intan, penukar uang, dan sebagai pemusik kecapi. Di kota Ray ini ia belajar kedokteran kepada Ali Ibn Rabban al-Thobari (192-240 H/ 808-855), belajar filsafat kepada Al-Balkhi, seorang yang tenang mengembara, menguasai Filsafat dan ilmu-ilmu kuno. Ia juga belajar matematika, astronomi, sastra dan kimia.[1]
Sebenarnya ayahnya berharap agar Ar-Razi mengikuti profesinya sebagai pedagang. Namun ternyata Ar-Razi lebih memilih bidang intelektual dari pada pedagang. Ini menjadi bukti bahwa ia lebih memilih perkara-perkara yang lebih besar ketimbang hanya mementingkan materi saja.
Di kotanya merupakan tempat pertemuan berbagai pendapat, terutama peradapan Yunani dan Persia. Oleh karena itu tidak mengherankan kota-kota di Persia (Iran) ini telah mengenal peradapan yang tinggi jauh sebelum bangsa arab mengenalnya. Hal ini mendorong bakat Ar-Razi tampil sebagai seorang intelektual.
Ar-Razi terkenal sebagai seorang dokter yang dermawan, penyanyang kepada pasien-pasiennya, karena itu ia sering memberikan pengobatan cuma-cuma kepada orang-orang miskin. Karena reputasinya di bidang kedokteran ini, Ar-Razi pernah diangkat menjadi kepala rumah sakit Rayy pada masa pemerintahan Gubernur Al-Mansur ibnu Ishaq. Kemudian ia pernah ke Baghdad dan memimpin rumah sakit disana pada masa pemerintahan Khalifah Al-Muktafi. Ia meninggal dunia pada tanggal 5 Sya’ban 313 H/27 oktober 925 M dalam usia 60 tahun.[2]
Disiplin ilmu Ar-Razi meliputi ilmu falak, matematika, kimia, kedokteran, dan filsafat, namun ia lebih terkenal sebagai ahli kimia dan ahli kedokteran dibanding seorang filosof.
B. Karya Tulis Ar-Razi (Rhazes)
Ar-Razi termasuk seorang filosof yang rajin belajar dan menulis sehingga tidak mengherankan ia banyak menghasilkan karya tulis. Dalam autobiografinya pernah ia katakan, bahwa ia telah menulis tidak kurang dari 200 buah karya tulis. Karya tulisnya antara lain:
·         Kitab Al-Asrar( bidang kimia, diterjemahkan ke dalam bahasa latin oleh Geard fo Cremon  )
·         Al-Hawi (merupakan ensiklopedia kedokteran sampai abad ke 16 di Eropa, setelah diterjemahkan kedalam bahasa lathin tahun 1279 dengan judul Contineus )
·         Al-Mansuri Liber Al-Mansoris ( bidang kedokteran, 10 jilid )
·         Kitab Al-Judar wa Al-Hasbah ( tentang analisa penyakit cacar dan campak serta pencegahannya ), serta dalam bidang filsafat
·         Al-Thibb Al-Ruhani
·         Al-Sirah Al-Falsafiyyah
·         Amanah Al-Iqbal Al-Dawlah
·         Kitab Al-Ladzdzah
·         Kitab Al-‘Ilm Al-Illahi
·         Maqalah fi ma Ba’d Al-Thabi’iyyah
·         Al-Shukuk ‘ala Proclus.[3]

C.    Filsafat Ar-Razi (Rhazes)

1.      Metafisika
Filsafat Al-Razi terkenal dengan ajarannya Lima yang Kekal, yakni:
ü  Al-Bary Ta’ala (Allah Ta’ala)
ü  Al-Nafs Al-Kulliyyat (Jiwa Universal)
ü  Al-Hayula Al-Ula (materi Pertama)
ü  Al-Makan Al-Muthlaq (Tempat/Ruang Absolut)
ü  Al-Zaman Al-Muthlaq (Masa Absolut).[4]
Menurut Ar-Razi dua dari Lima kekal itu hidup dan aktif: Allah dan roh. Satu diantaranya tidak hidup dan pasif, yakni materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula pasif, yakni ruang dan masa.[5]
Allah adalah maha pencipta dan pengatur seluruh alam ini. Alam dicipatakan Allah bukan dari tidak ada (Creatio ex Nihilo), tetapi dari bahan yang telah ada. Oleh karena itu, menurutnya alam semesta tidak Kadim, baharu, meskipun materi asalnya Kadim, sebab penciptaan di sini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada.[6]
Jiwa universal merupakan Al-Mabda’ Al-Qadim Al-Sany (sumber kekal yang kedua). Padanya terdapat daya hidup dan bergerak, -sulit diketahui karena ia tanpa rupa- tetapi karena ia dikuasai nalusi untuk bersatu dengan Al-Hayula Al-‘Ula (materi pertama), terjadilah pada zatnya rupa yang dapat menerima fisik.
Begitu pula Allah menciptakan akal. Ia merupakan limpahan dari Allah. Tujuan penciptaannya untuk menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik manusia, bahwa tubuh itu bukanlah tempat yang sebenarnya, bukan tempat kebahagiaan dan tempat abadi. Kesenangan dan sebenarnya adalah melepaskan diri dari materi dengan jalan filsafat.[7]
Materi pertama adalah kekal (jauhar qadim). Ia disebut juga hayula muthlaq, yang tidak lain adalah atom-atom  yang tidak bisa dibagi lagi. Pendapat Ar-Razi seperti ini mengesankan mirip dengan Demokritos, namun pendapatnya jelas berbeda.
Telah disebutkan bahwa materi bersifat kekal karena ia menempati ruang, maka ruang juga kekal. Ruang dipahami oleh Ar-Razi sebagai konsep yang abstrak, yang  berbeda dengan aristoteles yang mengatakan “tempat” tidak bisa  dipisahkan secara logis dari tubuh yang menempatinya. Oleh karena itu, ruang menurut Ar-Razi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: ruang partikular (al-makan al-juz’i) dan ruang universal (al-makan al-kully). Ruang universal juga disebut al-khala (kosong) dan ruangi nilah yang disebut dengan ruang yang  kekal.
Adapun waktu, menurut Ar-Razi adalah substansi yang mengalir (jauhar yajri) dan bersifat kekal. Ar-Razi membagi waktu menjadi dua bagian, yaitu:
·         waktu mutlaq (al-dahr) adalah zaman yang tidak memiliki awal dan akhir serta bersifat  universal.
·         waktu relatif (al-mahsur atau al-waqt) adalah waktu yang berlandaskan pada pergerakan planet-planet, bintang-bintang dan materi. Bersifat partikular dan tidak kekal serta terbatas karena ia terikat dengan gerakan terbit dan tenggelamnya matahari.

2.      Moral
Adapun pemikiran Ar-Razi tentang moral, sebagai tertuamh dalam bukunya Al-Thib al-Ruhani dan Al-Sirah  al-Falsafiyyah, bahwa tingkah laku pun mestilah berdasarkan petunjuk rasio. Hawa nafsu harus berada dibawah kendali akal dan agama.
Berkaitan dengan jiwa, Ar-Razi mengharuskan seorang dokter untuk mengetahui kedokteran jiwa (al-Thibb al-Ruhani) dan kedokteran tubuh (al-Thibb al-jasmani) secara bersama-sama. Kebutuhan kepada kedokteran jiwa adalah untuk menjaga keseimbangan jiwa, agar tidak minus maupun over. Menurutnya terdapat hubungan yang erat antara jiwa dan tubuh. Misalnya, emosi seseorang tidak akan terjadi kecuali dengan melalui persepsi indrawi. Hal ini dapat berpengaruh terhadap moral seseorang.

3.      Akal, Kenabian dan Wahyu
Ar-Razi menyanggah bahwa untuk keteraturan hidup, manusia membutuhkan Nabi, karena menurutnya akal adalah karunia terbesar Allah yang terbesar untuk manusia. Dengan akal manusia dapat memperoleh pengetahuan. Karena itu,manusia tidak boleh menyia-nyiakan dan mengekang ruang gerak akal.
Pandangan Ar-razi yang mengkultuskan kekuatan akal ini menjadikan ia tidak percaya kepada wahyu dan adanya Nabi sebagai diutarakannya dalam bukunya Naqd al-Adyan au fi an-Nubuwwah (kritik terhadap Agama-agama atau terhadap Kenabian). Menurutnya nabi tidak berhak mengklaim dirinya sebagai seorang yang memiliki keistimewaan khusus baik pikiran maupun rohani, karena semua orang itu sama dan keadilan Tuhan serta hikmah-Nya mengharuskan tidak membedakan antara yang satu dengan yang lainnya.
Berkaitan dengan sanggahan terhadap wahyu dan nabi sebagai pembawa berita eskatologis (alam keakhiratan), seperti kematian, bagi Ar-Razi, kematian bukanlah suatu hal yang perlu ditakuti , karena bila tubuh hancur maka ruh juga ikut hancur. Setelah mati, tak sesuatupun terjadi pada manusia karena ia tidak merasakan apa-apa lagi.
Ar-Razi juga mengkritik kitab-kitab suci, baik injil maupun Al-Qur’an. Ia menolak mukjizat Al-Qur’an baik dari segi isi maupun gaya bahasanya. Menurutnya, orang mungkin saja dapat menulis kitab yang lebih baik dengan gaya bahasa yang lebih indah.
Ar-Razi, tidak berarti seorang yang atheis, karena ia masih tetap meyakini adanya Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta, sebab itu ia lebih tepat disebut seorang Rasionalis murni.
Adapun tentang pemikiran Ar-Razi tentsng Lima kekal, tidak otomatis ia menjadi zindik, apalagibi la dinilai dengan Al-Qur’an, tidak satu ayatpun yang secara Qath’i bertentangan dengan pemikiran tersebut. Karena itu, tidak tertutup kemungkinan benar pemikiran Ar-Razi tersebut.
Demikian diantara ungkapan Ar-Razi yang di nilai menyimpang dari agama. Tuduhan ini jelas akan membawa rusaknya Ar Razi. Bahkan Harun Nasution mengatakan bahwa Ar Razi adalah filosof muslim yang berani mengeluarkan pendapat-pendapatnya sungguhpun bertentangan dengan paham yang dianut umat islam.
Badawi menerangkan alasan Ar Razi  dalam menolak kenabian sebagai berikut:
a.       Akal sudah memadahi untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat, yang berguna dan yang tidak berguna dengan akal saja manusia mampu mengetahui Allah dalam mengatur kehidupan sebaik-baiknya.
b.      Tidak ada alasan yang kuat bagi pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing semua orang karena semua orang lahir dengan kecerdasan yang sama.
c.       Para nabi saling bertentangan. Pertentangan tersebut seharusnya tidak ada jika mereka berbicara atas nama Allah.[8]


Kesimpulan
      Memang harus diakui bahwa Ar Razi memberi perhatian yang cukup besar pada akal. Indikasi ke arah ini dapat dilihat bahwa ia menulis tentang akal pada bab tersendiri. Namun tidak sampai meletakan wahyu dibawah akal. Apalagi tidak percaya pada wahyu. Bahkan ia didalam buku-bukunya sering menulis sholawat kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai penghormatan kepada beliau. Dan mewajibkan untuk memuliyakan nabi sebab mereka adalah manusia pilihan yang memiliki pribadi muliya.
            Ar razi lebih terkenal sebagai ahli dakam ilmu kedokteran (sains) ketimbang ilu spekulatif (filsafat). Oleh karena itu, dalam penjelasannya tentang akal berdasarkan semangat rasional empiris eksperimental, hal yang mengesankan bahwa ia terkesan tidak percaya kepada wahyu, namun kenyataan ini tidak dapat ditemukan dalam tulisan-tulisannya.


[1] Dr. Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 24
[2] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M. A., Filsafat Islam filosof dan filsafatnya (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 451
[3]Ibid, hlm. 25
[4]Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M. A., Filsafat Islam filosof dan filsafatnya (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 117
[5] Harun Nasution, Falsafat dan Misticisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), hlm. 15
[6]Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M. A., Filsafat Islam filosof dan filsafatnya (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 117
[7]Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M. A., Filsafat Islam filosof dan filsafatnya (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 118
[8]  Abdul Rahman Badawi, “ Muhammad Ibnu Zakaria Ar Razi,” dalam M.M.Syarif, Para Filosof Muslim, terj. Fuad muhammad fahrudin, (bandung: Mizan, 1996), hlm. 47

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent

Comments

About