Translate

Sabtu, 17 Mei 2014

AL GHOZALI

Makalah ini disusun guna melengkapi tugas :

Mata kuliah                                 :  Filsafat Islam


 

 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

(STAIN) PEKALONGAN

2012


BAB I

PENDAHULUAN

Imam ghozali adalah salah satu ulama yang terkenal di zamannya dan juga beliau adalah seorang guru besar di madrasah nizamiyah.tetapi selama di nizamiyah beliau mengalami keragu-raguan tentang ilmu yang didapatnya, sampai beliau menderita sakit dan tidak bisa mengajar di madrasah tersebut. Kemudian setelah beliau sembuh beliau pindah ke damaskus dan mendalami ilmu pengetahuan islam selama sepuluh tahun, dan akhirnya beliau kembali ketanah kelahirannya.

Setelah kembali, beliau banyak mengkritik para filusuf islam dan filusuf yunani lewat karya-karyanya. Oleh karena itu, banyak ulama’ dan filsuf yang menganggap bahwa beliau adalah penghambat perkembangan pendidikan islam.

 

BAB II

PEMBAHASAN

1. Riwayat Hidup

Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Bin Muhammad Al Ghozali, diberi gelar hujjah al islam. Beliau lahir di Thus bagian dari kota Khurasan Iran pada tahun 450 H (1056 M). Ayahnya tergolong orang yang hidup sangat sederhana sebagai pemintal benang, tetapi mempunyai semangat keagamaan yang sangat tinggi. Hal ini terlihat pada simpatinya kepada ulama, dan harapan agar anaknya menjadi uama yang selalu memberi nasihat kepada manusia. Itu sebabnya sebelum wafat, ia menitipkan anaknya Al Ghozali dan saudaranya Ahmad yang saat itu masih kecil pada seorang ahli Sufisme Islam untuk mendapatkan didikan dan bimbimngan. Diperkirakan Al Ghozali hidup dalam kesederhanaan sufi tersebut sampai usia 15 tahun (450-465 H).[1]

Pada usia kanak-kanak ia belajar ilmu fiqih di kota Thus pada Imam Ar-Razakani, dan selajutnya ia pindah ke Naisabur dimana ia belajar pada Imam Al Haramain Abu Ala Ma’ali Al Juwaini. Ia sangat menonjol kemahirannya  dalm ilmu kalam asy ‘ari, sehingga ia merupakan seorang yang paling mahir bernalar dalam zamannya. Kemdian ia pindah ke Mu’askar dimana ia berhubungan dengan Nizamu’l-Mulk, perdana mentri bani saljuk yang kemudian mengangkatnya menjadi pengajar (guru besar) di Universitas An-Nizamiyyah di Baghdad di kota ini ia menjadi populer, halqah pengajiannya semakin luas dan ia pun banyak menulis dalam masa ini.[2]

Pada tahun 488 H (1095 M), Al Ghozali dilanda keragu-raguan, sekeptis terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (hukum,teologi,dan filsafat), kegunaan pekerjaan dan karya-karya yang dihasilkannya, akibatnya ia menderita penyakit yang sulit di obati selama 2 bulan. Karena itu Al Ghozali tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai guru besar di Madrasah Nizamiyyah. Akhirnya beliau meninggalkan baghdad menuju kota Damaskus, selama kira-kira 2 tahun di kota tersebut, Al Ghozali melakukan Uzlah, Riyadhah, dan Mujahadah. Kemudian ia pindah ke Bait Al Maqdis Palestina untuk melakukan ibadah serupa. Setelah itu hatinya tergerak untuk menunaikan ibadah haji dan menziarahi makam Rasulullah, sepulang dari tanah suci Al Ghozali mengunjungi tempat kelahirannya di Thus dan disini pula ia tetap berkhalawat. Keadaan skeptis Al Ghozali berlangsung selama sepuluh tahun, pada periode itulah ia menulis karya terbesarnya yaitu Ihya Ulum Ad Din (menghidupkan kembali nila-nilai islam).[3]

2. Kritik Al Ghozali Terhadap Filsafat

Meskipun Al Ghozali banyak menulis tentang filsafat, tapi ia tidak mau dianggap filsuf. Kebanyakan peneliti menggolongkanya sebagai orang yang mengkritisi filsafat yang berkembang di zamanya. Hal ini terlihat dalam bukunya Tahafut Falsafah yang mengkritik filsafat karena dianggap menggoyahkan sendi-sendi keimanan. Meskipun Al Ghozali kurang senang dengan pemikiran filsafat dan para filsuf, dalam buku Maqasid Al-Falasifah, ia mengemukakan kaidah filsafat untuk menguraikan persoalan yang berkaitan dengan logika, teologi dan metafisika.

Karena sikap Al Ghozali terhadap filsafat seperti itu, menurut pandangan sebagian ahli pikir, Al Ghozali lebih teoat digolongkan pada pembela islam (Hujatul Islam). Lagi pula, bukunya yang bejudul Tahafut Al-Falsafah bukan termsuk buku filsafat, karena ia bertindak menyalahkan para filsuf, dan menyerang mereka, serta menyatakan pemisahan diri dari filsafat tradisional yang diwarisi oleh bangsa Yunani.

Kritik Al Ghozal terhadap para filsuf didasarkan pada alasan berikut:

Al Ghozali tidak memulai serangan terhadap filsafat, kecuali setelah mempelajari dan memahaminya dengan baik, sampai-sampai ia layak disebut sebagai salah satu dari filsuf itu sendiri. Hal ini konsisten dengan pernyataanya dalam Al-Munqids” orang yang tidak menguasai ilmu secara penuh, tidak akan bisa membongkar kebobrokan ilmu tersebut”.sebagai bukti penguasaan Al Ghozali terhadap filsafat adalah buku Maqashid Al-Falasifah (maksud-maksud para filsuf) yang oleh Al Ghozali dimaksudkan sebagai pengantar terhadap Tahafut, disamping buku-buku yang lain.

Al Ghozali mengetahui benar medan yang dihadapinya, ia tidak menyerang filsafat sebagai satu kesatuan utuh, tetapi metafisika yang menurutnya membahayakan islam. Musuh Al Ghozali yang lain adalah kebatinan. Untuk menghadapi mereka, Al Ghozali menulis lebih dari satu kitab, diantaranya adalah Fadhaih Al-Bathiniyah (keburukan-keburukan aliran kebatinan), Hujjah Al-Haq (dalil kebenaran), dan Mawahim Al-Bathiniyah (prasangka-prasangka kebatinan).[4]

3. Qadimnya Alam

Aristoteles adalah filosof pertama yang mengatakan bahwa alam yang ada didalamnya kita hidup, alam yang teratur rapi ini yang dalam bahasa yunani disebut “Cosmos”, adalah qadim, yakni telah ada sejak zaman azali dan tidak bermula.

            Aqidah islam mengajarkan bahwa alam ini dijadikan dari tidak ada. Allah telah ada lebih dahulu daripada adanya alam ini. Jika alam sudah ada sejak semula, maka hilanglah makna “menjadikan”. Ketika munculnya para filosof islam dan mereka menganut filsafat Aristoteles dan New-Platonisme, merekapun bernalar terhadap Tuhan sebagai “yang pertama”, seperti madzab Al Farabi, yakni sebab pertama bagi seluruh semesta ini, atau Tuhan sebagai “Al Wajib” seperti dalam teori Ibnu Sina, yakni Wajib Wujud Dzati, yaitu pembagian Wujud kepada Wajib Daruri dan Mumkin, yakni alam ini.[5]

            Sebagaimana pemikiran para filsuf tentang Qadimnya alam. Banyak filsafat terdahulu atau kemudian, menyetujui pendapat bahwa alam ini Qodim, dan menyatakan bahwa alam ini selalu ada bersama Tuhan serta terjadi bersama-Nya sebagai sebab akibat adanya secara temporal sebagaimana kebesaran temporal, sebab akibat, sebagaimana cahaya dan matahari. Keterdahuluan Tuhan atas alam ini bukan secara temporal adalah keterdahuluan Dzat (esensi-Nya) sebagai keterdahuluan sebab atas akibat.[6]

            Alasan yang dikemukakan oleh filsuf tentang qadimnya alam adalah bahwa sesuatu yang baru mustakhil terjadi dari sesuatu yang qadim. Misalnya, kita mengandalkan yang qadim sudah ada pada suatu masa, yaitu ketika alam ini belum muncul dari-Nya, maka alasan mengapa alam belum muncul itu harus disebabkan belum adanya penentuan (determinant) bagi wujudnya, dan karena itu wujudnya alam ini sekedar kemungkinan semata. Dengan demikian ketika alam ini terwujud, kita harus memilih diantara dua alternatif: apakah penentuan itu telah muncul atau belum. Seandainya penentuan itu belum muncul, alam masih dalam kemungkinan semata, sebagaimana ia ada sebelumnya. Akan tetapi, seandainya penentuan itu telah muncul, siapa yang memunculkan penentuan (determinant) itu sendiri dan mengapa ia baru muncul sekarang dan tidak sebelumnya.

            Berkaitan dengan qadimnya alam, Al Ghozali memberikan kritikan sebagai berikut:

Sesungguhnya alam ini diciptakan Tuhan dengan Iradah-Nya tentang qadim. Wujud alam dikehendaki ketika ia berada didalam wujud sebelumnya karena Tuhan belum menghendaki. Apa yang memungkimkan pandapat ini diterima?

Al Ghozali menjelaskan bahwa terjadinya alam setelah pernah tidak ada bukan berarti perubahan pada Dzat Tuhan bersifat qadim, sejak zaman azali Tuhan mempunyai iradah untuk menciptakan alam, iradah Tuhan tidak berubah-ubah. Akan tetapi mengapa adanya alam ini  tidak bersama dengan iradah Tuhan yang qadim itu? Melalui jawaban diatas, Al Ghozali mengatakan bahwa hal itu karena Tuhan qadim telah menghendaki demikian.

Sesungguhnya dialam ini terdapat banyak yang baru dan bersumber dari yang baru, maka terjadi rentetan yang tidak berkesudahan. Hal ini mustakhil dan tidak diterima akal. Sekiranya ujung yang baru itu mempunyai ujung penghabisan, ujung itu yang qadim.[7]

Al Ghozali ingin menunjukan mustakhil yang baru keluar dari yang qadim. Dalam kitabnya Tafahut Al-Falasifah, Al Ghozali menyatakan bahwa sesungguhnya Allah lebih dahulu dari alam dan zaman. Dia sudah ada, sedangkan alam belum ada, kemudian dia ada dan bersama-Nya.

4. Tentang Pengetahuan Tuhan

Para filsuf pada umumnya berpendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui peristiwa-peristiwa kecil, kecuali dengan cara  umum. Mereka juga sepakat mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui sesuatupun kecuali diri-Nya. Adapun alasan para filsuf mengingkari pengetahuan Tuhan yang juziat (Patricular) adalah sebagai berikut :

pertama, juziat berdasarkan waktu. Contohnya sebagai berikut: misalnya  terjadinya gerhana matahari melalui tiga tahapan.Tahap pertama, ada suatu keadaan: ketika gerhana belum ada, tetapi kewujudnya ditunggu maka seorang berkata, gerhana akan terjadi.Tahap kedua, gerhana benar-benar ada, seorang mungkin berkata, gerhana sedang terjadi.Tahap ketiga, sekali lagi gerhana itu ada, tetapi beberapa saat yang lalu, maka orang akan berkata, gerhana itu telah terjadi.

Ketiga hal tersebut mempunyai tiga pengertian yang berbeda-beda dan menutut suatu perubahan pada dzat yang mengetahui. Pengetahuan mengikuti objek pengetahuan. Apabila objek pengetahuan berubah, pengetahuan berubah. Apabila pengetahuan berubah, orang yang tahu juga harus berubah. Perubahan demikian mustakhil bagi Allah.

Kedua, “Tuhan mengetahui juziat secara kulli”. Para filsuf mengakui bahwa Tuhan mengetahui gerhana dan segenap sifat-sifat-Nya,tetapi ia mengetahui dengan ilmu-Nya yang bersifat azali dan kulli , yang tidak berubah-ubah.pengetahuan tentang hal itu berdasarkan hukum sebab akibat ,tanpa terikat waktu tertentu. Dengan demikian, ilmu tuhan tentang gerhana tidak terletak pada kaitan gerhana debngan waktu-waktu yang telah disebut diatas. Pengetahuan Tuhan tentang gerhana tidak berubah karena pengetahuan-Nya bersifat kulli dan tidak terhubung secara langsung dengan proses terjadinya dalam tiiga keadaan waktu seperti yang tersebut. Ini memberi arti bahwa pengetahuan Tuhan tidak bersifat juziat.

Kritik Al Ghozali terhadap pengetahuan Tuahan dan bahwa Tuhan hanya mempunyai satu pengetahuan tentang gerhana pada suatu waktu tertentu adalah sebelum gerhana, pengetahuan ini adalah pengetahuan tentang ”akan terjadi”, pada waktu gerhana, pengetahuan ini adalah pengetahuan tantang “sedang terjadi” dan setelah terang, pengetahuan ini merupakan pengetahuan tentang “berakhirnya gerhana”. Semua perbedaan ini dapat dianggap sebagi relasi-relasi yang tidak menggantikn zat pengetahuan dan karenanya tidak menuntut satu perubahan pada zat yang mengetahui karena perbedaan tersebut harus ditata sebagai relasi-relas murni.

Tuhan mengetahui sesuatu dengan ilmu-Nya yang azali dan ilmu-Nya tidak pernah berubah sama sekali. Apabila mereka menerima ilmu Tuhan yang bersifat kulli itu meliputi segala yang juziat dari segi jenis dan macam, seharusnya mereka menerima pula apabila dikatakan ilmu Tuhan tidak pernah berubah walaupun objeknya mengalami perubahan.

 

BAB III

PENUTUP

Al ghozali memang seorang filsuf, tapi banyak para filsuf yang tidak menganggap beliau adalah seorang filsuf,  Karena beliau telah terang-terangan menyarang para filsuf lewat karya-karya beliu. Tatapi kanyataanya beliau adalah seorang filsuf, hanya saja digolongkan pada filsuf islam, karena beliau sering mengkritik para filsuf sehingga beliau dijuluki sebagai hujjatul islam. Dalam kenyataanya, beliau memang menyarang para filsuf, dikarenakan para filsuf telah keluar pada jalur kebenaran.

 

 

 












DAFTAR PUSTAKA

Sofyan Ayi, kapita selekta filsafat, 2010 ( pustaka setia: Bandung),

Daudy Ahmad, segi-segi pemikiran falsafi dalam islam, 1984 (P.T. bulan  bintang:   jakarta),

Daudi Ahmad, Segi-segi Pemikiran Filsafat Dalam Islam, 1984, jakarta, 

Al-Ghozali, Tahafut Al-Falasifah, 1986, Terj. Jakarta,



[1]  Ayi sofyan, kapita selekta filsafat: (bandung: pustaka setia, 2010), hlm. 254.
[2] Ahmad daudy,segi-segi pemikiran falsafi dalam islam: (jakarta: P.T. bulan bintang, 1984), hlm. 60.
[3] Ayi sofyan, Op.cit., hlm. 255.
[4] Ibid.,hlm.261
[5] Ahmad daudy. Op.cit. hlm. 68
[6] Ahmad Daudi, Segi-segi Pemikiran Filsafat Dalam Islam, jakarta,  1984, hlm. 100
[7] Al-Ghozali, Tahafut Al-Falasifah, Terj. Jakarta, 1986, hlm. 239

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent

Comments

About